di Indonesia, kita tau bahwa pemeluk agama Islam menjadi mayoritas dalam jumlah kalo dibandingkan dengan jumlah pemeluk agama lain. maka tak jarang, kita menemuka pemeluk agama selain Islam menjadi minoritas pada suatu daerah. Organisasi-organisasi massa yang berasaskan Islam juga jumlahnya sangat banyak.
di kampus saya sendiri (Unpad), dan saya khususkan di jurusan saya, kimia, jumlah pemeluk agama Islam pun menjadi mayoritas jika dibandingkan dengan pemeluk agama lain. dalam satu angkatan, jumlah pemeluk agama selain agama Islam mungkin tidak sampai lebih dari 20 orang. maka menjadi kebiasaan juga, kalau setiap kegiatan selalu dibuka atau diawali dengan berdoa menurut kaum muslim dan yang beragama selain Islam akan menyesuaikan.
saya beragama Islam dan berada di lingkungan yang mayoritas Islam juga. maka tak sulit bagi saya untuk melakukan ibadah menurut agama saya, karena saya menjadi bagian dari jumlah yang mayoritas itu. saya memiliki teman yang beragama nasrani, yang dalam lingkungan saya berarti menjadi minoritas. maka teman saya itu akan menyesuaikan diri dengan ‘kebiasaan’ lingkungannya. ketika dalam suatu acara misalnya, dia akan menyesuaikan diri ketika ayat Al Qur’an dan doa dibacakan sebagai pembuka acara. juga ketika yang lain shalat, ya dia akan melakukan ibadah sesuai dengan agamanya. yang menyesuaikan pun bukan hanya dia sebagai ‘orang yang minoritas’, tetapi kami, lingkungan yang mayoritas pun juga menyesuaikan.dulu misalnya, ketika mabim (ospek), kami pun menyediakan waktu bagi agama selain Islam untuk beribadah. kami mencarikan tutor (entah istilah tutor tepat atau tidak) untuk mereka yang beragama selain Islam, agar ketika kami yang umat muslim beribadah, maka mereka pun beribadah dengan cara berkumpul sesamanya dan melakukan ibadah mereka. ketika mereka harus beribadah di hari yang telah dikhususkan pun, kami juga memberikan waktu bagi mereka untuk beribadah.
kita (umat muslim) mungkin selama ini selalu merasakan menjadi kaum yang mayoritas dalam jumlah. sehingga kita mudah untuk melakukan ibadah kita, mudah untuk melakukan sesuai dengan apa yang agama kita perintahkan. tapi pernahkah kita membayangkan ketika kita menjadi kaum yang minoritas dalam jumlah? saat kita harus menyesuaikan diri seperti teman saya yang sudah saya tuliskan diatas, atau saat kita sulit untuk menemukan masjid? atau bahkan saat kita secara sengaja atau tidak, harus ikut mendengarkan doa dan ibadah umat agama lain?
saya pribadi pernah merasakannya ketika SD. Dulu, saya masuk SD swasta yang ‘berbasiskan’ agama Budha. meski pemeluk agama Islamnya cukup banyak, tapi tetap saja jumlah pemeluk agama Budha menjadi mayoritas, sehingga, setiap pagi (sebelum mulai belajar) dan siang (sebelum pulang), saya harus mendengarkan doa dalam agama Budha yang hingga sekarang masih saya hapal dan tidak tahu itu doa itu dalam bahasa apa. namun meski menjadi minoritas dalam jumlah, kami umat muslim pun masih memiliki waktu khusus untuk belajar agama Islam. jadi ketika sudah waktunya belajar agama, maka masing-masing agama akan memisahkan diri, berkumpul dalam satu kelas dengan sesama pemeluk agama islam/kristen/budha/hindu dari kelas lain, dan akan ada guru yang masuk ke kelas tersebut. jadi tetap qok saya mendapatkan pelajaran agama Islam.
kasus lain, ada teman saya yang beragama Islam dan sekarang sedang bekerja di Freeport, Papua. umat muslim menjadi kaum yang minoritas dalam jumlah disana, dan yang menjadi mayoritas adalah umat kritiani. di angkatan teman saya itu, hanya ada 7 orang muslim dari seratus lebih yang diterima bekerja di freeport, dan hanya ada dua orang muslim di bagian dia bekerja. karena umat muslim menjadi minoritas disana, maka bisa dibilang kondisinya menjadi sulit bagi kaum muslim untuk tetap bisa menjalankan apa yang dilarang/diperintahkan dalam Islam. contohnya, umat muslim dilarang untuk makan babi dan minum minuman keras, namun disana, akan mudah sekali untuk menemukan olahan babi dan minuman keras. teman saya pun bilang kalau warung makan disana (mungkin bisa dianalogikan warteg di bandung), akan menjadi keadaan yang biasa jika ketika makan, ada babi atau anjing yang ikut masuk ke tempat makan itu. ya kalau di warteg atau warung makan di bandung adanya kucing yang suka ikut makan bersama kita, maka disana adalah babi dan anjing. dan kata teman saya itu, sudah biasa bagi dia untuk mendengarkan doa umat kristiani, karena setiap ada acara apapun, pasti didahului oleh doa untuk kristiani.
namun semua itu tak perlu menjadi alasan bagi dia untuk protes dan berteriak “woy!gw muslim! hargain dong hak-hak gw!”. tidak. dia hanya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sambil tetap menjalankan apa yang diyakininya. tidak perlu protes. tidak perlu marah. tidak perlu memaksakan penghapusan doa dalam agama nasrani dalam setiap awal kegiatan. karena memang lingkungannya yang begitu. orang-orang disekitarnya pun juga mengerti jika dia muslim. jika memang mereka akan pergi makan bersama, mereka akan memberitau teman saya itu mana makanan yang halal dan mana yang tidak.
itulah toleransi. menghormati sekitar. tidak memaksakan kehendak sendiri agar diterapkan kepada lingkungan. memberi kesempatan yang sama kepada pemeluk agama lain untuk beribadah. tidak egois. toh Allah juga menciptakan manusia dengan beragam muka dan warna. be wise.