Harum kopi yang terseduh..
Terhirup ke dalam hidung,diterjemahkan oleh pusat syaraf
pembau..
Menimbulkan suatu imaji,
Dalam ruangan yang tenang, dengan suara gemercik air dan
lagu jazz..
Teguk pertama dari kopi itu..
Mengalir kedalam kerongkongan, bertemu sapa dengan
bakteri-bakteri yang sedang bekerja dalam usus..
‘hai! Siapkah kamu ku urai?’ kata si bakteri.
Ku hirup lagi aroma kopi capuccino itu..
Satu perasaan tergambar..
Perasaan cinta dari tangan petani kopi yang dengan setia
memupuki tanaman kopi ini, menyiraminya, menjaganya dari serangan
hama
,
hingga akhirnya biji kopi mereka panen, dalam wujud biji kopi terbaik.
Penuh rasa sayang dan perhatian, serta sangat dijaga.
Seperti cintaNya…
Sebelum tegukan ke dua,kuhirup lagi aroma kopi itu..
Dalam suasana malam di daerah dago atas yang dingin dan
ramai oleh lalulalang orang-orang,
Seketika orang-orang bergerak melambat.
Tersenyum perlahan, berjalan perlahan, tertawa perlahan,
tetesan air mata yang ada di pipi perlahan, jatuh perlahan.
Dan semua menjadi berhenti ketika tegukan ke dua masuk ke
dalam kerongkongan ku.
Aku tersenyum melihat ekspresi mereka.
Senyum yang mengembang seorang wanita dengan sedikit
memperlihatkan gigi putihnya, bayi kecil yang terlihat sedikit kedinginan namun
tertawa bahagia bersama orang tuanya, suami istri yang duduk berdua saja
ditemani cahaya redup lilin,,
Dan aku tidak melihat kesedihan.
Ke mana orang yang sedang menangis tadi? Atau orang yang
hampir terjatuh ke dalam lubang, tadi?
Aku melihat ke sekeliling, mencari-cari keseimbangan dunia,
mencari kesedihan di sekitarku.
Di depan ku, ku lihat bayi yang sedang tertawa lepas.
Di kanan ku, ku lihat pelayan yang tersenyum ramah kepada
pelanggannya sambil menyajikan hidangan yang dipesan.
Di samping kiriku, kulihat ku lihat seorang wanita yang
tersenyum malu bersama orang tuanya, dan satu orang lagi laki-laki di depan
mereka.
Bahkan di belakangku, kesedihan juga tak ada. Ku kira mereka
akan mengumpat di belakang ku. Tapi yang kulihat malah satu keluarga besar yang
sedang merayakan ulang tahun kakek mereka ke 63 tahun. Si kakek sedang tertawa,
dan sedang bersiap meniup lilin di atas kue ulang tahunnya.
Lalu dimana kesedihan itu?
Atas?
Aku melihat langit malam yang cerah dan banyak bintang. Ku
rasa langit malam ini sedang tidak bersedih.
Aku melihat ke bawah,
Aku melihat cahaya lampu dari bangunan-bangunan yang tampak
seperti bintang. Kerlap-kerlip, dan bergerak. Kurasa lampu-lampu di bawah
sana
juga sedang tidak bersedih..
Jadi..ah, sudahlah. Mungkin memang malam ini sedang tidak
ada yang bersedih.
Karena ke segala penjuru ku melihat, tidak ada yang merasa
sedih. Mereka tertawa, tersenyum, bahagia. Tidak ada satupun yang sedang sedih.
Ku hirup lagi aroma
kopiku,
Meresapinya..
Dan sebelum ku teguk tegukan yang ketiga,
Ku melihat pantulan bayangan dari kopi capuccino ku.
Meskipun gelap,
Tapi ku melihat bayangan seorang pria yag sedang menangis.
Meneteskan air mata. Terisak di balik tangan yang menutupi wajahnya.
‘bayangan siapa itu?’ ku bertanya pada hati ku.
‘aku?’
‘Ah, tapi aku sedang tidak bersedih qo. Aku masih bisa
tertawa, dan menikmati secangkir kopi nikmat ini. Jadi itu pasti bukan aku.’
Aku menjawab dan meyakinkan diriku sebelum hatiku sempat
menjawab.
‘bayangan itu mungkin hanya halusinasiku saja. Mungkin aku
sudah lelah dan sudah mulai mengantuk. Jadi malah keluar pikiran yang aneh-aneh
deh.’ Pikirku.
Ku tetap meminum kopi ku, dan kali ini hingga habis.
Bayangan yang tadi ku lihat, semakin lama semakin memudar,
hilang, terminum habis bersama dengan kopi capuccino hangat ku.
Kafein mulai bekerja, memberikan semangat dan tenaga palsu
pada tubuh ku.
Aku membayar ke kasir.
Mengancing rapat jaketku.
Mengendarai motor hitamku ke jatinagormu.
Menembus malam.
Melewati dingin.
‘itu bayangan kesedihanku…’
-sky of art-
30th April, 2008
jatinangor
i like the way u write it, capuccino…
even sum times vanilla latte taste more relaxing…
keren pak…
this one.. this one nice…